Penting, setiap anak merasakan sosok figur ayah hadir di
hati mereka. Mereka rindu belaian tangan kekar seorang ayah, mereka rindu suara
tegas ayah, mereka butuh figur seorang ayah untuk jadi contoh teladan dalam
bersikap.
Bila semua itu tak terpenuhi, bisa dipahami bila di kemudian
hari anak-anak ini menjadi pribadi yang bermasalah. Bila keadaan bertambah
parah, baru kita tersadar ada yang salah dari anak kita. Fatalnya, sebagian
orangtua jarang mau mengakui kesalahan itu, selalu anak yang disalahkan.
Padahal, sesungguhnya orangtualah yang membuat mereka menjadi pribadi yang
bermasalah.
1. Ayah Pendidik
Tidak bisa disangkal bahwa ayah adalah tulang punggung
keluarga. Ia curahkan seluruh kemampuan dan waktunya untuk mencari nafkah agar
tercukupi kebutuhan keluarganya. Sedang istri di rumah mengurus rumah, menjaga
dan merawat serta mendidik putra-putrinya.
Tetapi belajar dari pengalaman keluarga di atas, ternyata
peran ayah tidak berhenti hanya mencari nafkah. Kalau mau dirinci sebenarnya
peran ayah sangat besar, bahkan sama dengan peran istri, khususnya dalam
pendidikan keluarga. Jadi, suatu kesalahan bila beban pendidikan anak hanya
diserahkan sepenuhnya kepada sang istri.
Mencari nafkah memang tugas berat bagi suami. Apalagi, jika
suami juga berdakwah membina umat yang sepertinya tidak ada putusnya. Tanpa
mengurangi tanggung jawab tersebut, mendidik keluarga harusnya juga dimasukan
dalam agenda pembinaan. Jangan sampai sukses di luar, tapi istri dan anak
terabaikan. Bukankah sebagai pemimpin keluarga dituntut untuk menyelematkan
keluarga dari api neraka?
“Hai orang orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras yang tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang di perintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.” (At-Tahrim [66]: 6).
Dalam suatu riwayat dikisahkan, seorang laki-laki datang
menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW). Dia bertanya, ”Hai
Rasulullah, apakah hak-hak bagi anakku terhadap diriku?” Rasulullah SAW
menjawab: ”Hendaklah engkau memberinya nama yang bagus, mendidiknya dengan
baik, dan menempatkannya di tempat yang baik.”
2.Ayah Penuh Cinta
Betapa sering kita abaikan anak-anak yang dititipkan pada
kita. Padahal, anak adalah amanah sekaligus anugerah terindah dari-Nya. Kita
sering memposisikan anak sebagai milik kita sehingga kita bebas memperlakukan
mereka.
Kata ‘mendidik dengan baik’ dari Hadits di atas mengandung
pengertian perlakuan yang baik. Bukankah anak belajar dari perilaku kita?
Bukankah anak akan belajar membenci bila kita sering mencelanya. Begitupun ia
akan belajar mencintai bila kita mencintai dan menyayanginya.
Terkait dengan menyayangi anak, Rasulullah SAW berpesan:
”Barangsiapa mencium anaknya, Allah akan menuliskan untuknya satu kebajikan.
Barangsiapa menggembirakan anaknya Allah akan menggembirakannya di hari kiamat
kelak. Barangsiapa mengajarkan al-Qur’an kepada anaknya, maka kedua ibu
bapaknya akan dipanggil untuk diberi dua pasang pakaian yang indah dan dari
wajah mereka akan tampak bahwa mereka adalah penghuni surga.”
Siapa yang tidak tahu bahwa tugas kerasulan Nabi Muhammad
SAW adalah sangat berat. Jadwal hidupnya sangat padat untuk berdakwah dan
mengurus umat, tapi beliau masih tetap memperhatikan keluarganya. Cucu beliau,
Hasan dan Husein tidak takut menaiki punggungnya untuk bermain. Rasulullah SAW
juga tidak canggung bermain dengan anak-anak. Beliau biasa mencium anak
perempuannya ketika masyarakat Quraisy sangat membenci memiliki anak perempuan.
Begitupun ‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah SAW,
sering memberi pesan kepada putranya Hasan sebagai wujud cinta dan perhatiannya
pada putranya. Simaklah pesannya:
“…dan kudapati engkau sebagai bagian diriku, malahan
kudapati engkau sebagai keseluruhan diriku, sehingga kalau ada sesuatu
menimpamu, maka hal itu pun menimpa diriku. Seandainya kematian datang
kepadamu, maka hal itu juga datang kepadaku. Apa saja yang engkau derita juga
menjadikan diriku menderita.”
Jikalau ikatan perasaan yang amat agung itu merupakan
perasaan para ayah yang dicurahkan kepada anaknya, maka dengan sendirinya akan
timbul rasa hormat dan bakti anak terhadap sang ayah. Ikatan agung inilah yang
akhirnya melahirkan generasi-generasi rabbani, generasi terbaik sepanjang masa
yang siap menyongsong kehidupan penuh rahmah.
Tidak disangsikan lagi lahirnya pahlawan dan ulama sekaliber
Hasan, Husein, ‘Abdullah bin Zubair, ‘Urwah bin Zubair, Anas bin Malik,
‘Abdullah bin Ja’far, Fadhl bin Abbas, dan ‘Abdullah bin Abbas adalah karena
banyaknya manusia-manusia yang berkualitas pada saat itu. Sehingga zaman itu
disebut sebagai khairul-qurun, sebaik-baik masa.
Kalau kita ingin anak kita seperti generasi khairul-qurun,
maka peran ayah dalam pendidikan keluarga tidak bisa diabaikan. Wallahua’lam
bish-shawab. SUARA HIDAYATULLAH OKTOBER 2008
Sumber : Sri Lestari/anggota Muslimat Hidayatullah, tinggal di
Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar